Mata Kuliah : Softskill 4 - Kewirausahawan
Nama : Cipto Prasetio Sutikno
NPM : 18611407
Kelas : 2SA05
Strategi Pemasaran
Ini merupakan titik berhasilnya maicih dimana dilakukan dengan strategi pemasaran yang out of the box. Axl memanfaatkan kecanggihan teknologi masa kini yaitu dengan media twitter dan Facebook. Axl sengaja membuatn produknya eksklusif agar orang penasaran. Dia tidak membuka toko seperti layaknya kebanyakan penjual, namun dijual dengan memanfaatkan media twitter sebagai informasi lokasi dimana para Jenderal ( agen ) maicih mangkal menjajakan dagangannya.
Pemasaran produk ini berbeda dengan kudapan unik kota Bandung lainnya. Calon pelanggan hanya bisa mengetahui dimana Maicih gentayangan tiap harinya melalui situs microblogging Twitter. Tiap hari @InfoMaicih akan memberi kabar di mana produk Maicih bisa didapatkan. Tim pemasaran Maicih yang disebut sebagai Jenderal, akan menjual produk Maicih di lokasi-lokasi tertentu. Mulai dari kampus, kantor atau tempat keramaian lainnya. Pendek kata, tak ada yang abadi sebagai tempat membeli produk Maicih. Mereka selalu mobile sesuai posisi para jenderal. Cara pemasaran yang cukup unik ini terbukti mendongkrak nama Maicih di jagat twitter. Banyak yang penasaran seperti apa produk Maicih gara-gara membaca kicauan pengguna Twitter yang bersliweran tiap saat. Dan biasanya mereka yang sudah merasakan kripik setan Maicih pastinya bakal tericih-icih alias kepedasan.
Yang membuat pemasaran produk ini berbeda dengan produk produk lainnya
Twitter Ma Icih bambangworld.blogspot.com
. Hanya dengan berkampanye lewat social media twitter, Maicih, merek keripik pedas asal Bandung, berhasil menaklukkan hati para Icihers. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang ingin naik kelas menjadi “Jendral” Maicih. Efeknya, baru satu setengah tahun, omzet Maicih menembus Rp 7 miliar per bulan. Bagaimana cara Republik Maicih membuat kalangan anak muda urban di Tanah Air bisa “tericih-icih”?
Siapa sih yang gak kenal dengan Maicih? Itu loh, keripik pedas asal Bandung yang sekarang sedang happening dan tengah “digilai-gilai” kaum muda. “Gak gaul kalau belum tahu dan nyoba Maicih sampai tericih-icih (tergila-gila—red),” demikian diungkapkan para icihers, sebutan untuk para penggemar keripik Maicih. Ruar biasa memang. Dalam seminggu terakhir misalnya, tak kurang 3800 percakapan di Twitter membicarakan Maicih.
Ya, salah satu yang membuat unik dari Maicih adalah sebutan atau istilah yang dilemparkan manajemen Maicih ketika berkomunikasi dengan para calon konsumen dan pelanggannya melalui Twitter. Ada “Emak” (nenek) untuk pembuat keripik Maicih dan “Cucu” untuk konsumennya. Kemudian, ada “Jendral” untuk reseller-nya, “Icihers” sebutan gaul penggemar Maicih, “Republik Maicih” untuk manajemen, hingga istilah “tericih-icih” untuk menggambarkan ketagihan akan pedasnya Maicih.
Sejak diluncurkan akhir Juni 2010 lalu, keripik Maicih memang menjadi salah satu hot isu dan fenomenal di kalangan anak muda urban, terutama para peselancar dunia maya. Maklum saja, cara memasarkan keripik Maicih memang beda dengan keripik pedas lainnya—yang notabene sudah lebih dulu beredar di Bandung. “Awalnya kami memasarkan tiga varian Maicih, keripik, seblak, dan gurilem, lewat jaringan pertemanan dan kekeluargaan,” cerita Reza Nurhilman, pemilik sekaligus President Keripik Maicih yang akrab disapa Axl (baca: Axel).
Melalui jaringan kekerabatan, Axl mencoba menciptakan isu atau word of mouth (WOM). Salah satunya, dengan tingkat kepedasan keripik. “Keripik yang kami jajakan memiliki tingkat kepedasan yang berbeda. Mulai dari level satu sampai lima, dan langsung ke level 10 yang tingkat pedasnya paling tinggi,” lanjutnya.
Walhasil, dengan diferensiasi seperti itu, produk pun direspon positif oleh lingkar kekerabatan Axl. Mereka pun tak segan-segan meng-endorse keripik Maicih lewat kicauan mereka di akun twitter masing-masing. Dua bulan berjalan, permintaan untuk level tiga dan lima melonjak tajam. Oleh karena itu, produksi keripik pun lebih diperbanyak untuk dua level tersebut.
Melihat efektivitas kicauan teman-temannya di dunia maya, maka Axl pun memutuskan untuk fokus hanya berkomunikasi lewat twitter @infomaicih, facebook #maicih, dan situs www.maicih.co.id. Diterangkan Axl, jumlah follower Maicih saat ini sudah mencapai lebih dari 354 ribu, sedangkan jumlah fanpage mencapai 49.000-an.
Untuk itu, jangan harap Anda akan menemukan gerai fisik Maicih. “Kami memang sengaja tidak membangun gerai fisik. Dari sisi biaya operasionalnya sangat tinggi. Dan yang terpenting, gerai fisik tidak mampu menciptakan interaksi antara brand Maicih dengan konsumen,” ungkap Axl beralasan.
Lantas, bagaimana cara Maicih dikomunikasikan dan dijajakan? Rupanya, Maicih punya sederet “jendral”—sebutan untuk pasukan penjual atau reseller Maicih. Jendral tersebutlah yang bertugas berkicau di akun twitter mereka masing-masing tentang lokasi-lokasi mana saja yang bakal disambangi mobil yang membawa keripik Maicih untuk dijajakan. Dan, tiap harinya lokasi yang disambangi berpindah-pindah, alias nomaden.
Konsep jualan nomaden itu rupanya justru menggelitik rasa penasaran sekaligus memicu antusiasme konsumen. Dampaknya, tak sedikit anak-anak muda justru menunggu-nunggu kicauan dari para jendral Maicih plus berharap lokasi kampus atau rumah mereka bisa disambangi mobil Maicih.
Melalui konsep nomaden itu, urai Axl, “Kami ingin mencapai misi pertama kami, yaitu menciptakan gengsi di dalam diri konsumen kalau bisa mengkonsumsi Maicih. Bahkan, punya gengsi jika bisa menjadi icihers.” Itu artinya, jika belum tahu dan mencoba Maicih, boleh dibilang mereka belum masuk kategori “bergaul”.
Kini, misi berikut dari Axl dan kawan-kawan adalah menciptakan gengsi profesi seorang jendral. Menjadi seorang jendral Maicih jelas tidak mudah. Seleksi dilakukan sangat ketat. “Ada tiga batch yang kami tawarkan kepada para calon jendral,” imbuhnya. Ketiga batch itu dibedakan berdasarkan pembelanjaan keripik Maicih.
Untuk batch pertama, nilai pembelanjaan para jendral minimal Rp 5 juta per minggunya. Batch dua, nilai pembelanjaan produk Maicih minimal Rp 10 juta per minggunya. Sementara batch tiga, kategori baru, nilai pembelanjaan minimal Rp 100 juta per minggunya. “Para jendral dibebaskan untuk berinovasi dalam memasarkan produk Maicih,” ungkap Axl.
Selain syarat pembelanjaan, yang terpenting adalah calon jendral Maicih harus datang ke Bandung untuk interview dan mengikuti Akademi Jendral Maicih. “Di sana, calon jendral di-training seputar team work, inovasi, character building, dan soft skill lainnya. Pendeknya, para calon jendral harus mampu menjadi Independent Bussiness Owner (IBO),” tegas Axl.
Jangan heran, jika para jendral Maicih dituntut untuk inovatif memikirkan cara-cara efektif dalam memasarkan keripik Maicih di area mereka masing-masing. “Kami tidak men-support dana sepeser pun untuk para jendral. Mereka sendirilah yang harus mampu membangun brand Maicih dan memasarkannya di wilayahnya masing-masing,” ia menambahkan.
Axl mencontohkan, area Cirebon memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah Jakarta. Di Cirebon, komunikasi jauh sangat efektif menggunakan medium radio. Maka, jendral di sana pun bekerja sama dengan sejumlah radio lokal untuk menggelar talkshow seputar Maicih. Sementara di Jakarta, ketika Axl diundang hadir di salah satu program Metro TV dan Trans7, permintaan Maicih langsung booming. “Beda lagi dengan Bekasi. Pendekatan di sana justru sifatnya harus personal,” tuturnya.
Kerja keras para jendral—yang merupakan anak-anak muda kelahiran era 80-an—itu tak percuma. Kini, Maicih sudah sampai seantero Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Bahkan, Maicih juga sudah menjangkau mancanegara. Sebut saja Jepang dan Singapura. Tak mengherankan, dengan modal awal yang hanya Rp 15 juta, kini omzet Maicih membengkak. Per bulan, omzet Maicih—yang didapat dari pembelanjaan keripik para jendral—sudah menembus Rp 7 miliar.
“Untuk jendral batch dua, tak sedikit pembelanjaan mereka tiap minggunya Rp 200 juta-Rp 300 juta. Kontribusi tertinggi memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogja, dan Semarang,” ia mengaku.
Lantas, berhasilkah Axl pada misi keduanya: membangun gengsi menjadi jendral Maicih? Jawabannya, jelas berhasil. Ini dibuktikan dengan membludaknya anak-anak muda yang ingin menjadi jendral Maicih. “Dalam sehari, lebih dari seribu orang yang ingin mendaftar menjadi jendral Maicih. Dan, ada dari kalangan artis muda yang sudah menjadi jendral Maicih,” terang Axl.
Namun, Axl mengaku tidak bisa sembarangan menerima para jendral. Lantaran, di tangan para jendral-lah reputasi dan nasib brand Maicih digantungkan. Selain reseller, para jendral juga menjadi endorser sekaligus talker brand Maicih. Oleh karena itu, seleksi para jendral dilakukan sangat ketat. “Selain harus memiliki mindset Independent Bussiness Owner dan lulus Akademi Jendral Maicih, kami lebih mendahulukan wilayah-wilayah yang masih kosong pemain dan memiliki potensial market,” jelasnya.
Setelah sukses dibincangkan di jejaring sosial serta diliput banyak media elektronik, cetak, maupun online, diakui Axl, Maicih mulai kedatangan kompetitor. Di daerah asalnya di Bandung, tak kurang dari 30 brand keripik—dengan jenis varian yang serupa—mulai agresif memasarkan produknya.
Oleh karena itu, Axl mengaku, tidak bisa tinggal diam. Dalam waktu dekat, tepat di awal tahun 2012, diungkapkan Axl, “Kami akan re-packaging dan meluncurkan varian baru, seblak keju.” Jika saat ini kemasan Maicih masih terlihat biasa, bahkan terkesan jadul (jaman dulu—red), tahun depan akan segera berganti. Untuk re-packaging dan peluncuran varian baru itu, saat ini Axl dan tim sedang menggodok konsep event-nya.
Tak cukup, Republik Maicih pun akan jauh lebih agresif menjadi pembicara di acara seminar atau workshop, menjadi narasumber di media elektronik, cetak, maupun online, hingga menggelar program corporate social responsibility. Bahkan, untuk menunjukkan bahwa Maicih adalah sang pionir, tak segan-segan Republik Maicih memasang reklame Maicih di papan bilboard akbar di wilayah Bandung.(Dwi Wulandari – Majalah MIX-MarketingCommunications, Desember 2011)
Hasil pemasaran dari keripik “MAICIH”
Produk Maicih hasil kerja sama Reza (pemilik keripik “MAICIH”) dan kawan-kawan bersama warga setempat. Penduduk di sebuah kampung di Bandung, Jawa Barat, membuat kripik ini dibantu sejumlah orang. Ibu Ade, ditunjuk Reza menjadi mitra produksi rumahan maicih. Mereka mencari cara bagaimana mengemas jajaran kampung yang tradisional ini agar bisa naik kelas. Berkat pemasaran yang dikemas secara professional dengan metode gentayangan dimana pembeli yang mencari keripik, Ibu Ade merasakan perubahan yang signifikan. Penjualan yang dahulu hanya 100 biji tapi setelah sekarang sudah bermitra dengan maicih, sehari sekarang mencapai 2.000 per bungkus. Dalam sebulan omzet yang dikantongi bisa mencapai Rp 800 juta sampai Rp 900 juta. Di mana sehari saja, bisa mencapai keuntungan Rp 30 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar