[Mata Kuliah] Softskill - Ilmu Sosial Dasar
Nama : Cipto Prasetio Sutikno
NPM : 18611407
Kelas : 2SA05
Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya
hanya dengan dua gerobak. Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam
Burger yang tersebar di seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih.
Bahkan, ia pernah menjalani hidup yang keras di Jakarta.
(Di rumah mungil di
kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai berkaus merah kuning
terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus kemasan
bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar.
Seorang lelaki bercelana pendek berhenti bekerja, lalu keluar menyambut
NOVA.Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum
hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi,
hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik
Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)
Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak
pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap
sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup.
Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana.
Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.
Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April
1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa
bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi
pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan.
Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya
potong-potong, lalu dijual ke pasar.
Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru.
Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah
cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10
tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup
memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.
PENSIUN
JADI PREMAN
Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan
di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan
kakak sayadi Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci
pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.
Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan
preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang
saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang
kembalian.
(Sambil berkisah, Made terbahak
tiap mengingat pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu
membenarkan letak kacamatanya).
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur.
Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur.
Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan.
Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa
pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu –
Pulogadung – Cililitan.
Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu,
saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta
kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu
nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis
mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun
1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual
rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.
NYARIS
TERSAMBAR PETIR
Titik cerah muncul di tahun 1990.
Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan
burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank,
tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke
teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.
Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur,
daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman,
saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger
dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.
Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak
bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena
istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga
gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik
selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir
besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang
menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir,
burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp
1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari
bisa laku lebih dari 20 buah.
Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan
burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga
lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak
burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan
burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri
dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak
mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa
lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di
berbagai restoran cepat saji.